Kamera CCTV

Minggu, 20 April 2014

5 Suku di Indonesia Yang Hampir Punah

Ribuan suku di Indonesia tersebar dari Sabang sampai Merauke. Diantara mereka ada yang sudah menerima Kebudayaan baru dan berasimilasi dengan budaya lain. Namun diantara meraka ada juga suku yang tetap mempertahankan segala tradisi mereka. Sayangnya diantara suku di Indonesia yang masih tradisional tersebut, seoalah-olah kalah dan tergerus dengan budaya lainnya dan hanya sedikit yang mampu mempertahankan identitas mereka, dan itu pun hampir saja punah. Banyak hal yang menjadi penyebab, diantaranya tergusurnya lahan mereka beralih menjadi lahan modern serta tidak adanya perhatian dari pemerintah tentang keberadaan suku-suku tersebut.

Berikut ini beberapa suku di Indonesia yang disinyalir akan segera punah alias tak ada generasi penerusnya.

1. Suku Sakai di Riau

Suku Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad ke-14. Seperti halnya Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar), Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau berabad-abad lalu. Sebagian besar masyarakat Sakai hidup dari bertani dan berladang. Tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Sakai. Data kependudukan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai di Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa.

Suku Sakai selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah di hutan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, alam asri tempat mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit, dan sentra ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan pendatang baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di Indonesia (Jawa, Minang, Batak, dsb). Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan, sementara usaha atau kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani.

2. Suku Togutil di Halmahera

Suku Togutil adalah kelompok etnis yang hidup di hutan-hutan secara nomaden di sekitar hutan Totodoku, Tukur-Tukur, Lolobata, Kobekulo dan Buli yang termasuk dalam Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara. Yang perlu diingat, Orang Togutil sendiri tak ingin disebut "Togutil" karena Togutil bermakna konotatif yang artinya "terbelakang". 

Kehidupan mereka masih sangat tergantung pada keberadaan hutan-hutan asli. Mereka bermukim secara berkelompok di sekitar sungai. Komunitas Togutil yang bermukim di sekitar Sungai Dodaga sekitar 42 rumah tangga. Rumah-rumah mereka terbuat dari kayu, bambu dan beratap daun palem sejenis Livistonia sp. Suku Togutil yang dikategorikan suku terasing tinggal di pedalaman Halmahera bagian utara dan tengah, menggunakan bahasa Tobelo sama dengan bahasa yang dipergunakan penduduk pesisir, orang Tobelo. Orang Togutil penghuni hutan yang dikategorikan sebagai masyarakat terasing, sementara orang Tobelo penghuni pesisir yang relatif maju.

Kehidupan Orang Togutil sesungguhnya amat bersahaja. Mereka hidup dari memukul sagu, berburu babi dan rusa, mencariikan di sungai-sungai, di samping berkebun. Mereka juga mengumpulkan telur megapoda, damar, dan tanduk rusa untuk dijual kepada orang-orang di pesisir. Kebun-kebun mereka ditanami dengan pisang, ketela, ubi jalar, pepaya dan tebu. Namun karena mereka suka berpindah-pindah, dapat diduga kalau kebun-kebun itu tidak diusahakan secara intesif. Dengan begitu, sebagaimana lazimnya di daerah-daerah yang memiliki suku primitif, hutan di daerah ini tidak memperlihatkan adanya gangguan yang berarti.

3. Suku Anak Dalam di Jambi

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di PulauSumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di provinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.

Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya. Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan.Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah keagama Islam.

4. Suku Mentawai di Sumatera Barat

Di provinsi Sumatera Barat terdapat satu suku yang memiliki banyak kekhasan. Suku tersebut adalah suku Mentawai. Suku Mentawai terdapat di kepulauan Mentawai yang terdiri dari pulau-pulau yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Secara turun temurun, suku Mentawai hidup sederhana di dalam sebuah Uma. Uma merupakan rumah yang terbuat dari kayu pohon. Arsitektur bangunan rumah Mentawai berbentuk panggung. 

Kesederhanaan hidup suku Mentawai terlihat dari cara mereka berpakaian. Pada umumnya, pakaian suku Mentawai masih tradisional. Kaum lelaki Mentawai masih mengenakan Kabit yakni penutup bagian tubuh bawah yang hanya terbuat dari kulit kayu. Sementara bagian tubuh atas dibiarkan telanjang begitu saja tanpa mengenakan sehelai kain. Sikerei, tetua di Mentawai-pun masih mengenakan Kabit. Lain halnya dengan kaum wanita, untuk menutup tubuh bagian bawah, mereka menguntai pelepah daun pisang hingga berbentuk seperti rok. Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut daun rumbia hingga berbentuk seperti baju.

5. Suku Samin di Bojonegoro

Suku Samin, adalah suatu kelompok masyarakat yang terdapat di daerah Blora provinsi Jawa Tengah dan Bojonegoro provinsi Jawa Timur. Pemukiman suku Samin ini berada di tengah hutan, mereka sengaja menjauhkan diri dari kehidupan keramaian dan menjalankan tradisi hidup mereka yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Mereka memperlakukan alam dengan baik. Mengambil kayu bakar hanya seperlunya dan tidak mengeksploitasi secara berlebihan. Mereka lebih suka berjalan kaki, sejauh apapun yang mereka tempuh. Mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Semua ini mereka jalani karena sesepuh mereka, Samin Surosinteko merupakan penentang keras materialisme dan kapitalisme yang dibawa oleh kolonial Belanda.


Baca Juga : 

2 komentar:

  1. Blogwalking ^_^
    Indonesia kaya akan Suku dan budaya...Harus dilestarikan tuh mas Admin.. (y)
    Salam kenal yaaakk :D

    BalasHapus

Catatan : jika ingin mengcopy paste artikel ini diwajibkan untuk mencantumkan sumbernya

1. Berkomentar lah dengan baik
2. Jangan ada SARA
3. Dilarang menaruh link aktif
4. Terima kasih